Sabtu, 03 Agustus 2013

Demokrasi Anti Resah

Oleh Aulia Mufti
mahasiswa FH Unpad asal Aceh.

PILKADA Aceh yang ada di hadapan kita sekarang selayaknya dipandang sebagai satu lagi kesempatan merengguk nikmatnya berdemokrasi. Menjadi istimewa karena pelaksanaannya di atas iklim otonomi khusus sebagaimana ditentukan aturan perundang-undangan, di antaranya Undang-Undang no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Ada ruang bagi kemerdekaan berpartisipasi dalam pemerintahan, sesuatu yang diharapkan membawa perubahan paradigma masyarakat Aceh mengenai arti kebebasan dan hak-hak selaku manusia dan warga negara. Meriahnya Pilkada ini tidak boleh menjadi surut disebabkan “meriah”nya perilaku kekerasan dan pemaksaan kehendak oleh segelintir orang yang tidak menghendaki berjalannya pendidikan politik secara baik di tengah-tengah masyarakat Aceh. Padahal, adalah tanggung jawab para politisi dengan institusi partai politiknya untuk menjadi saluran aspirasi masyarakat dan memberikan cerita-cerita indah tentang bagaimana transisi pengisian jabatan publik (baca:perebutan kekuasaan) dapat berakhir manis dengan cara-cara yang sportif.
Realitas terkini perihal Pilkada Aceh saya kira telah mengusik antusiasme dan harapan masyarakat Aceh akan terlaksananya substansi dari demokrasi. Diawali deadlock menyangkut regulasi Pilkada antara legislatif dengan eksekutif terutama menyangkut boleh tidaknya kandidat independen bertarung dalam kontes pilkada, sehingga menimbulkan konflik regulasi berupa kekosongan atau ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan berbagai kebingungan, bahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) selaku pelaksana administrasi pilkada di Aceh disebut overlapping karena tidak ada dasar yang jelas atas pelaksanaan kewenangannya termasuk menetapkan tahapan pilkada. Deadlock politik ini mencerminkan suatu konstelasi politik yang masif. Karena secara politik tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaiannya pun tersedia melalui jalur yuridis lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 sesuai kewenangannya menurut UUD, atas dasar gugatan yang disampaikan terkait keabsahan tindakan KIP. Putusannya diantaranya melanjutkan tahapan Pemilukada dengan membolehkan kandidat independen ikut dalam kontes pilkada sebagai calon, dan pelaksanaan pilkada berdasarkan Qanun (Perda) lama yang belum dicabut yang mendasari pelaksanaan pemilukada di wilayah Aceh sebelumnya (Qanun Nomor 7 Tahun 2006). Maka yang harus dilakukan menyikapinya tentu saja berjiwa besar menerima putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu, sebagai ciri masyarakat dalam negara hukum.

Mencermati konidsi terkini, bahwa terjadi aksi kekerasan berupa teror granat berturut-turut (Rabu 30/11/2011) dan Kamis (01/12/2011) di kantor sekretariat pemenangan salah satu kandidat (yang apabila dilihat objek dan waktunya maka sulit untuk tidak dikaitkan dengan persoalan pilkada), masyarakat Aceh tentu menjadi resah. Lalu apakah kesempatan kali ini pun akan berlalu begitu saja, dengan masyarakat tak memperoleh apa-apa dari pelaksanaan pilkada, kecuali tontonan pemaksaan kehendak berbau kekerasan. Tentang apa kepentingan pelakunya dan pihka siapa, atau bahkan hanya sekadar para pemancing di air keruh yang menghendaki tercapainya tujuan tertentu, akan sulit dicapai kesimpulan yang memuaskan karena hanya akan melahirkan berbagai teori konspirasi yang liar, kecuali sampai terbukti di depan hukum. Namun siapa pun pelakunya dan apa pun motifnya, sungguh layaklah dijadikan musuh bersama oleh rakyat Aceh yang hendak menyambut pesta demokrasi.

Agenda besar seperti pilkada memang berpotensi tinggi memunculkan konflik, vertikal, dan horizontal. Namun di sinilah kemapanan mentalitas dan kedewasaan bersikap dibutuhkan untuk pengelolaan konflik yang baik, sehingga sifat kontraproduktifnya dapat ditekan seminimal mungkin, lalu menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang bagaimana para elitenya tidak kehilangan sikap saling menghargai antarindividu dan kelompok dalam menghadapai momen politik.

Menjadi beralasan bila muncul kecemasan bahwa kondisi chaos mesti dihadapi. Kalau masyarakat resah, itu bukan demokrasi, berarti pula kita gagal memanfaatkan momentum yang datang bertubi-tubi hanya karena segelintir bagian saja dari masyarakat Aceh.

Kalau pelaksaan pilkada di Aceh hanya “terlihat” demokratis namun jauh dari nilai demokrasi substantif, maka kita semua memiliki andil atas kesia-siaan itu dan bertanggungjawab memulihkan lagi di kemudian hari. Jika kita punya kesempatan sungguh-sungguh mematangkan demokrasi kita di momentum pilkada ini, lalu apakah kita masih menganggap menunda adalah sebuah pilihan? Sebelum segalanya semakin terlihat sulit untuk diperbaiki, sebelum masyarakat tidak percaya lagi dengan betapa mungkinnya bangsa kita terutama masyarakat Aceh hidup dalam alam demokrasi. Sebelum tokoh dan sistem yang antagonis dengan balutan premanisme menjadi sangat mapan lalu sulit untuk direduksi.

Jangan sampai hanya para elite yang menentukan arah langkah demokrasi substantif yang hendak kita bangun. Masyarakat awam pun sesungguhnya mampu dan memang diharapkan ikut menyetir arah demokrasi kita menuju kematangan, bukan terjerumus dalam kesia-kesiaan atau malah kemunduran. Semestinya, kita patut membenci kesia-siaan dan kemunduran karena terlalu banyak waktu yang terbuang hanya untuk berpikir tentang bagaimana memperbaiki sesuatu yang terlanjur rusak.

Tidak ada komentar: