Sabtu, 03 Agustus 2013

Diskursus Islam Aceh

Oleh: Saiful Akmal
Mahasiswa Goethe University of Frankfurt-Jerman, Dosen IAIN Ar-Raniry

ACEH adalah entitas etnik yang unik. Selama dan sebelum penjajahan Belanda, bisa dikatakan Aceh adalah salah satu penganut ide khilafah islamiah pan-islamisme global, meskipun sebelum Kerajaan Aceh Darussalam, Aceh tersebar dalam beberapa kerajaan kecil.

Analisis ini bisa dibuktikan dengan adanya relasi ekonomi, militer dan budaya antara Aceh dan Kerajaan Turki Ottoman saat itu sebagai pusat semua kekuatan Islam dunia. Lalu Aceh mengambil peranan penting dalam upaya mengharmoniskan serta mengisi hubungan Islam dengan ide nasionalisme Indonesia semasa revolusi kemerdekaan.


Sampai kemudian, penggabungan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara ditenggarai menjadi satu sebab penting mengapa ide separatisme kembali menyeruak. Unifikasi Aceh yang harus berinduk ke Medan terlepas dari segenap sumbangsih Aceh terhadap nasionalisme ke-Indonesia-an telah membuat hubungan Aceh, Islam dan Indonesia kembali menjauh. Akibatnya, ulama sebagai motor dinamisasi, mulai berpikir untuk mengislamkan Aceh, lalu Indonesia secara keseluruhan. Pada titik ini, ide Daud Bereueh bertemu dengan gagasan Kartosuwiryo dalam konsep DI-TII.

DI-TII gagal, dan ini memaksa Aceh untuk kembali mengevaluasi perjuangannya mewujudkan keadilan sosial di nanggroe endatu. Celah ini memberi ruang, tempat, waktu bagi ide separatisme etnik untuk muncul ke permukaan. Perjuangan Islam kembali mengalami fase pengecilan ruang lingkup dari level nasional menjadi provinsial. Kemudian, elite GAM yang dikabarkan mendapat legitimasi sejarah (langsung/tidak) dari DI-TII, masih mendukung dan memainkan wacana keislaman sampai dekade 90an. Plus, kebangkitan kedua GAM (akhir 1980an) juga mendapat suntikan dari interaksinya dengan dunia Islam internasional, dalam hal ini Lybia yang menjadi tempat latihan militer dan Malaysia sebagai wilayah rekrutmen (minus Swedia sebagai pusat pemerintahan pengasingan) (Ross, 2003:11).

Seiring berubahnya peta politik global dan latar belakang sekuler elitenya, strategi GAM juga mengalami penyesuaian. Sehingga isu-isu lokal yang didengungkan GAM dengan bahasa humanis seperti ketidakadilan, HAM dan kesejahteraan semakin fasih menggantikan diskursus dan referensi keislaman seiring berakhirnya perang dingin, revolusi Balkan, serta momentum lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Salah satu tesis yang menyebabkan meluasnya dukungan kepada GAM adalah perlakuan dan penanganan salah Jakarta ke Aceh yang semakin menambah resistensi Aceh terhadap segala yang berbau Jakarta. McGibbon (Reid, 2006) menambahkan bahwa gaya pemberitaan media Indonesia juga berkontribusi memperlebar jarak antara Aceh dan Jakarta.

Alhasil, dinamika wacana Islam Aceh kembali berbalik menuju dimensi lebih global, namun dengan sudut yang berbeda. GAM memanfaatkan pudarnya peran ulama yang berhasil dikooptasi oleh rezim Soeharto di akhir dekade 80-an (Aspinal, 2007) di mana ia berhasil mendekati kaum Islam setelah pemilu 1987 termasuk ulama Aceh dengan memberikan dana dan perhatian lebih besar pada pembangunan masjid, renovasi pesantren, dll melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Meskipun terkesan simbolik, tapi itu membuat ulama tidak lagi terlalu resisten terhadap Jakarta. Ujungnya, harmonisme ulama dan GAM terus merenggang. Ada kekhawatiran, yang kemudian dipolitisir oleh pemerintah Indonesia, bahwa GAM memang sama sekali tidak memperjuangkan nilai keislaman di Aceh.

Di sisi lain, GAM lewat Deklarasi Stavanger (2002) menegaskan komitmennya pada self governance, demokrasi, keadilan dan penegakan HAM di Aceh. Hal tersebut juga menurut GAM adalah esensi penting nilai- nilai Islam sebagai bentuk sipil dari realitas agama (Kingsbury, 2007), sehingga hadiah syariat Islam sebagai terjemahan keistimewaan dan otonomi khusus Aceh versi Jakarta ditolak GAM dan dituduh sebagai trik kebijakan politik salah kaprah. GAM berdalih bahwa syariat Islam tidak perlu diformalisasikan, karena Aceh memang sudah dari dulu sangat Islami.

Penerapan SI, selain ditolak keras GAM dan sejumlah LSM, di sisi lain juga didukung beberapa elemen mahasiswa dan organisasi keislaman. Hal ini menyebabkan legislasi dan qanun implementasi syariat yang memang bukan menjadi platform PA dan Gubernur menjadi ajang pertarungan legislasi yang dimotori oleh partai-partai Islam lokal dan nasional. Kedua kelompok ini menurut Salim, (2009) berusaha memperebutkan dan melebarkan pengaruh-kontrol sosial politik di Aceh via produk qanun.

Ketika GAM beralih dari wacana Islam ke wacana sekuler etno-nasionalis yang sedang menggejala: pasca tragedi WTC, Jakarta memainkan strategi kontra wacana, yakni menghembuskan isu bahwa GAM adalah kelompok teroris (Kassim, 2005). Tuduhan ini menurut Dillon (2004) didasarkan pada isu jika GAM punya kontak dengan kelompok islam radikal Jemaah Islamiyah (JI) karena pernah mendapatkan pelatihan militer di Selatan Filipina (Moro Islamic Liberation Front, MILF); GAM dicurigai menyelundupkan senjata lewat bantuan kelompok Pattani United Liberation Organization (PULO) yang juga (katanya) dikategorikan sebagai teroris regional yang nomaden. Namun keberadaan ideologi GAM, Hasan Tiro, lewat interaksinya di pusat percaturan politik dunia, telah membantu menjelaskan mengapa pengaruh global berperan penting dalam kasus Aceh. Strategi retorik-propaganda, diaspora dan exile adalah efek interaksinya selama di luar negeri. Ia juga secara tegas membedakan karakter dan ideologi perjuangan GAM sebagai gerakan berasas demokrasi, liberalisme, dan nasionalisme. Satu hal yang sama sekali berbeda dengan DI-TII terdahulu yang menonjolkan unifikasi Islam di Aceh dan Indonesia.

Ternyata persinggungan antara wacana praktis Islam, nasionalisme dan globalisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah Aceh. Pasang surut hubungan di antara ketiganya berujung pada tataran politik yang lebih melokal (Aspinal, 2009). Meskipun awalnya mengglobal dengan pan-islamisme di masa kesultanan, kemudian surut merespons kebutuhan lokal pada masa penjajahan kolonial, lalu merapat ke nasionalisme Indonesia paska kemerdekaan, mengecil lagi menjadi ketidakpuasan lokal, lalu bertemu dengan ide negara Islam indonesia DI-TII, lalu membesar ke arah internasionalisme wacana global paska perang dingin dan akhirnya, tereduksi ke arah relasi politik lokal, sudah pasti ada persentuhan, dominasi, reduksi dan elaborasi diantaranya. Tentu ini bukanlah kesimpulan akhir yang menyeluruh, selain hanya melihat salah satu dari sekian banyak perspektf batas waktu praktik diskursif islam Aceh. Ini juga belum bisa menjelaskan arah perkembangan dominasi wacana islam kedepan paska konflik. Harapannya adalah identitas islam Aceh bisa mengambil segala makna positif dari unsur lokalisme, nasionalisme dan globalisme, sehingga niat untuk menjadi demokratis-humanis tidak terjegal oleh syariat Islam. Sebaliknya demokrasi dan Islam Aceh mudah-mudahan bisa berevolusi menjadi demokrasi yang religius dan menjadi model bagi dunia.

Tidak ada komentar: