Oleh:Faizal Adriansyah
Kabid Kajian Aparatur PKP2A IV LAN-RI.
RUNTUHNYA Jembatan Kutai
Kartanegara (Golden Gate Kalimantan) merupakan peristiwa langka di dunia
konstruksi. Kemungkinan adanya malpraktik profesi insinyur pada kasus
ambruknya jembatan Kutai Kartanegara pernah dilontarkan oleh Ketua
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Dr. Ir. Muhammad Said Didu pada
wawancara interaktif dengan RRI Pro 3 Senin 28 November 2011.
Said
Didu juga menambahkan salah satu kendala sukarnya mencegah malpraktik
insinyur dikarenakan di Indonesia sampai saat ini belum ada
Undang-Undang Profesi Insinyur, sementara hampir seluruh Negara Asean
telah memiliki undang-undang tersebut. Padahal RUU Profesi Insinyur,
sebenarnya sudah diajukan oleh PII ke DPR sejak 2005, namun hingga kini
belum mendapat pengesahan dari DPR. Undang-undang keinsinyuran sangat
penting agar insinyur dapat mempertanggungjawabkan keprofesiannya, jadi
kalau terjadi kerusakan tidak hanya sekadar dianggap akibat alam semata,
seperti kasus lumpur Lapindo, ledakan tabung gas dan berbagai kasus
pembangunan infrastruktur lainnya yang bermasalah.
Runtuhnya
Jembatan Kutai Kartanegara telah menambah daftar duka negeri kita di
pengujung tahun 2011. Insiden tersebut terjadi Sabtu sore, 26 November
2011 pukul 16.20 Wita, hanya dalam waktu 30 detik, jembatan gantung
terpanjang di Indonesia tersebut ambruk dan menyisakan dua pilar
penyangganya. Kendaraan yang melintas di atasnya baik mobil maupun motor
beserta penumpangnya ikut terjun ke dalam air. Hingga Rabu, 30 November
2011 sudah 18 jenazah korban yang ditemukan. Berapa pastinya jumlah
korban belum diketahui, sebab, diperkirakan masih ada korban yang
terjebak bersama kendaraan di bawah puing-puing jembatan.
Jembatan
Kutai Kartanegara adalah jembatan yang melintas di atas sungai Mahakam
dan merupakan jembatan gantung terpanjang di Indonesia. Jembatan ini
oleh masyarakat dikenal sebagai Golden Gate dari Kalimantan karena
menyerupai jembatan Golden Gate yang berada di San Fransisco, Amerika
Serikat. Panjang total jembatan 720 meter dengan bentang bebasnya, atau
area yang tergantung tanpa penyangga, mencapai 270 meter (sumber
Wikipedia). Jembatan ini merupakan jembatan kedua yang dibangun
melintasi Sungai Mahakam setelah Jembatan Mahakam di Samarinda sehingga
disebut juga Jembatan Mahakam II. Pembangunan jembatan ini dimulai tahun
1995 dan selesai pada 2001 dengan total dana 150 miliar rupiah.
Usia
jembatan tersebut ketika runtuh lebih kurang 10 tahun, hal ini
menjadikan sebuah tanda tanya besar bagi siapa pun, karena usia jembatan
tersebut masih sangat “muda belia”. Umur sebuah jembatan monumental
seperti Jembatan Kutai Kartanegara tersebut pastilah dibangun untuk umur
yang panjang paling tidak sampai 100 tahun ke depan diharapkan masih
kokoh. Kalau kita merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, di mana telah diatur
didalam PP tersebut mulai tahap perencanaan sampai dengan tahap
pelaksanaan serta pengawasannya. Pada pasal 35 ayat 1 disebutkan Jangka
waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan ditentukan sesuai
dengan umur konstruksi yang direncanakan dengan maksimal 10 tahun, sejak
penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. Kalau benar umur jembatan
tersebut ketika ambruk baru 10 tahun maka hal ini masih menjadi tanggung
jawab pelaksana artinya masih dalam garansi. Sementara itu pada pasal
36 disebutkan (1) Kegagalan bangunan dinilai dan ditetapkan oleh 1
(satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan kompeten dalam
bidangnya serta bersifat independen dan mampu memberikan penilaian
secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu)
bulan sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan.
(2) Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih, dan
disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa. (3) Pemerintah
berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan
mengakibatkan kerugian dan atau menimbulkan gangguan pada keselamatan
umum, termasuk memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian
dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para
pihak. Berdasarkan pasal tersebut di atas kita semua memang harus
menunggu dengan sabar hasil investigasi para ahli dan menyerahkan
sepenuhnya kepada pemerintah untuk penyelesaiannya.
Saat ini
yang menjadi perhatian penting adalah mencari penyebab runtuhnya
jembatan tersebut. Beragam pandangan para ahli konstruksi tentang sebab
ambruknya jembatan tersebut telah diekspose dalam beragam media, namun
pada intinya diduga telah terjadi kelalaian profesi. Apabila yang
melakukan kelalaian orang per orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, namun jika kelalaian tersebut dilakukan oleh orang yang
seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain maka hal tersebut
merupakan tindakan pidana. Kelalaiaan adalah salah satu bentuk dari
malpraktik. Selama ini malpraktik yang kita kenal hanya dalam profesi
medis, namun sesungguhnya malpraktik dapat terjadi pada semua profesi,
termasuk profesi di bidang konstruksi hukum, perbankan, akuntansi, dan
bidang lainnya.
Pelajaran untuk Aceh
Apa yang dapat
kita petik dari peristiwa runtuhnya jembatan Kukar? Bahwa
bangunan-bangunan infrastruktur yang ada saat ini perlu segera
dievaluasi secara teknis kelayakannya. Khusus Aceh, kita punya bendungan
baik yang sudah jadi maupun yang sekarang sedang dibangun, kita juga
punya banyak jembatan yang membentang di atas sungai yang cukup lebar,
memang jembatan kita bukan jembatan gantung namun beban yang melintas
terkadang sangat berat tanpa ada pengaturan yang ketat terhadap batas
maksimal. Untuk jembatan perlu segera dilakukan evaluasi menyeluruh
tentang ketahannya terhadap beban, misalnya untuk Kota Banda Aceh
terdapat beberapa jembatan di tengah kota yang dipasang “traffic light”,
di mana pada saat lampu merah mobil-mobil berhenti termasuk mobil truk
dengan muatan batu/pasir persis di atas jembatan dalam waktu tertentu.
Pada saat itu sesungguhnya telah terjadi penumpukan beban yang sangat
berat terhadap jembatan, kalau hal ini terjadi terus berulang maka tidak
mustahil bisa saja terjadi bencana ambruknya jembatan tersebut ketika
kemampuannya menahan beban terlampaui. Sebenarnya di beberapa jembatan
telah dipasang tulisan “khusus roda dua dan tiga” namun tanpa ada
tindakan tegas aparat berwenang tulisan tersebut dianggap angin lalu.
Di
beberapa jalur jalan baik lintas barat, tengah maupun timur banyak
kita jumpai bangunan tembok penahan longsor pada tebing-tebing jurang.
Kalau kita amati terutama tembok-tembok penahan longsor banyak yang
dibangun asal jadi sehingga banyak yang umurnya tidak lama karena sudah
ambruk kembali. Hal ini membuktikan bahwa fondasi bangunan tersebut
tidak bertumpu pada batuan dasar, tetapi berada pada lapisan tanah atau
batuan yang bergerak, sehingga sampai kapan pun bangunan tembok penahan
tersebut akan terus bergerak. Aceh memiliki banyak ahli kontruksi baik
yang praktisi maupun akademisi, kiranya dapat mendiskusikan lebih intens
tentang kondisi bangunan-bangunan infrastruktur yang ada demi menjaga
keselamatan masyarakat. Malpraktik profesi sesungguhnya adalah persoalan
moralitas yang menguji kita apakah takut dengan Tuhan atau tidak,
percaya akhirat atau tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar