Oleh:
Hermansyah
Staf pengajar Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, magister
bidang filologi Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tidak banyak dari jamaah haji (hujjaj) Aceh
yang mengetahui keberadaan Baitul Asyi di Mekkah, tanah yang diwakafkan
indatunya khusus untuk hujjaj dari Aceh. Warisan paling berharga yang
diberikan para leluhur terdahulu sebagai bentuk kepedulian mereka
terhadap generasinya itu kini menjadi aset bisnis yang megah dan
strategis di sekitar pelataran Masjidil Haram.
Salah satunya
terletak di daerah Qusyasyiah bertepatan dengan bab al-Fath Masjidil
Haram, seperti hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 dan Menara Ajyad
(Burj Ajyad) bertingkat 28 yang berjarak sekitar 500-600 meter dari
Masjidil Haram. Kedua hotel tersebut mampu menampung lebih dari 7.000
jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Wakaf tersebut
semakin bertambah dengan pembelian beberapa aset lagi. Hasil sumbangan,
sedekah, dan infak hujjaj Aceh diwakafkan dalam bentuk tanah dan rumah
di seputar Masjidil Haram tersebut yang dikoordinir oleh Habib Bugak
sekitar tahun 1224 H/ 1809 M.
Sebagian berpendapat bahwa nama
asli Habib Bugak adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi dari
Monklayu. Sebagian lagi menyebut ia berasal dari daerah Bugak di Aceh
Timur, Bireuen atau Pidie. Sulitnya informasi tersebut diakibatkan tidak
ada bukti tertulis secara komprehensif. Melalui lembaran sarakata
(surat Sultan) Aceh yang saya peroleh, tertera stempel kesultanan yang
menunjukkan originalitasnya. Disebutkan bahwa ia bernama Sayyid
‘Abdurrahman bin ‘Alwi Peusangan, yang diberi kuasa pengelolaan tanah di
wilayah Mutiara di sebelah barat Blang Pancang hingga Krueng Air
sebelah timur dan hingga perbatasan Krueng Geukueh.
Tanah wakaf
di Mekkah menunjukkan bukanlah milik Habib Bugak semata, akan tetapi
juga secara kolektif dari jamaah haji Aceh setiap tahunnya yang dikelola
oleh beberapa orang Aceh di Mekkah yang dipimpin oleh Habib Bugak pada
periode tersebut. Faktanya adalah Habib Bugak dengan sadar mengikrar di
depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah sekitar tahun 1224 H/ 1809 M
dengan mewakafkan tanah dan rumah untuk jamaah haji Aceh dan orang Aceh
di Mekkah, bukan kepada anak cucunya, dan dikelola oleh nadhir (Bada
Pengelola) wakaf yang dibentuk oleh mahkamah.
Ternyata, alasan
di atas semakin mendasar jika melihat “tradisi wakaf” orang Aceh yang
sangat kuat pada abad 18 sampai 20. Tradisi yang telah membentuk sosial
masyarakat Aceh makmur dengan modal berlimpah. Sebut saja seperti dana
wakaf untuk pembelian kapal perang Turki beserta biaya prajuritnya di
Aceh, dana wakaf untuk diplomasi Abdurrahman al-Zahir ke Singapura,
Turki, dan ke Arab. Atau periode perjuangan kemerdekaan RI seperti
pembelian pesawat Seulawah 01, dana bantuan radio Rimba Raya, modal emas
tugu Monas Jakarta, dan lain-lainnya. Semua itu diperoleh dari dana
bantuan dan wakaf rakyat Aceh.
Demikian juga Baitul Asyi di
Mekkah, wakaf Aceh di Mekkah sejak meninggal Habib Bugak hingga akhir
abad 20 (1999) atau sekitar dua ratus tahun menjadi sangat misterius.
Mayoritas orang Aceh tidak pernah tahu bagaimana pengelolaan
warisannya, jumlah Baitul Asyi, dan pengurusnya. Namun, dibalik
ketidakjelasannya, ia juga menjadi mutiara indah di tengah kota Mekkah,
karena pada tahun 1980 pemerintah Indonesia melalui kedutaannya di
Jeddah memohon untuk mengelola Baitul Asyi bagi jamaah Indonesia, akan
tetapi ditolak oleh Mahkamah Syari’ah Arab Saudi. Alasannya sederhana,
wakaf tersebut jelas diperuntukkan kepada jamaah haji Aceh. Alasan
kedua, pada tahun 1809 negara RI belum terbentuk wujudnya, dimana Aceh
sudah mengingkrarkan kedaulatan kesultanannya.
Walaupun tidak
ingin dikatakan hikmah dibalik duka gempa dan tsunami Aceh 2004, akan
tetapi hujjaj Aceh mendapat perhatian khusus pascagempa tsunami,
termasuk transparansi pengelolaan wakaf Aceh di Mekkah.
Sejak
tahun 2006 M (1427 H) nadhir Baitul Asyi telah melunasi kompensasi
pemondokan kepada jamaah haji asal Aceh dengan total Rp 13,5 M, tahun
2007 (1428 H) sebesar Rp 15 M, tahun 2008 (1429 H) Rp 14,54 M, dan
tahun 2010 (1430 H) sebesar Rp 14.878 M kepada 4.133 jamaah haji Aceh.
Jika
memang biaya pemondokan Baitul Asyi adalah hak hujjaj Aceh, maka
seluruh hujjaj Aceh sejak awal tahun 1800-an hingga 2005 wajib dibayar
sebagai kompensasi pemondokannya. Patgulipat aset dana wakaf Aceh pun
selama hampir 200 tahun ini sangat menggiurkan, karena setiap tahunnya
aset Baitul Asyi terus meningkat, namun para hujjaj Aceh tidak pernah
mendapat informasi dana kelolaan tersebut, termasuk manfaatnya.
Sedangkan di sisi lain, biaya haji terus membengkak setiap tahun tanpa
pelayanan yang sepadan diterima jamaah haji.
Kompensasi dan ganti
rugi memang perlu, namun bukan solusi yang terbaik menangani masalah
haji Indonesia, khususnya Aceh. Problema haji di dalam negeri memiliki
keunikan tersendiri, dari tebang pilih adanya prioritas calon jamaah
haji, quota terbatas dengan waiting list yang berkepanjangan, hingga
penyalahgunaan dana simpanan jamaah haji oleh oknum-oknum tertentu yang
dijadikan sebagai uang jaminan bisnis.
Sedangkan di Arab Saudi,
pemondokan hujjaj Indonesia, termasuk jamaah dari Aceh, selalu menjadi
ancaman dan permasalahan setiap tahunnya, mulai dari tidak memenuhi
standar kriteria yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi, fasilitas
infrastruktur kurang memadai, hingga jarak tempuh yang jauh antara pusat
ibadah Masjidil Haram dengan hotel pemondokan. Hal itu tidak sebanding
dengan jamaah negeri jiran, padahal biaya dan ongkos haji tidak jauh
berbeda jumlahnya.
Berbagai faktor tersebut mengakibatkan para
hujjaj kelelahan, letih, sakit dan kurang maksimal menunaikan ibadahnya.
Tidak sedikit para hujjaj harus tidur (istirahat) di pelataran Masjid
Haram karena kesasar atau tidak tahu arah pulang, dan harus menginap di
pelataran Masjid akibat pemondokan jauh. Selain itu, bukan fenomena
asing jika melihat para hujjaj Indonesia (termasuk Aceh) harus membawa
bekal makanan dan rantangan bersama sajadah (peralatan shalat) ke
masjid, ini dikarenakan pemondokan jamaah berada jauh di masjid,
sehingga mereka menetap, istirahat, dan tidur dari pagi sampai malam di
pelataran masjid. Mereka harus diterpa angin dan cuaca ekstrem yang
berbeda jauh dengan negerinya.
Itu merupakan realita perjuangan
bagi jamaah Aceh dalam beribadah selama haji. Namun dengan tidak menjaga
kesehatan juga bukan pilihan yang baik dalam beribadah haji. Ibadah
membutuhkan stamina lebih dan tubuh yang prima dan sehat. Apalagi tidak
sebanding bila melihat jamaah haji negera jiran yang mendapat pemondokan
haji bergandengan dengan Masjidil Haram, padahal ongkos haji tidak
jauh berbeda.
Jika Pemerintah Aceh sudah “baligh”, maka lazim
untuk mengurus wakafnya berkoordinasi dengan nazhir Baitul Asyi dalam
pengelolaan wakaf Aceh secara transparan, profesional, adil, dan bijak.
Karena wakaf Baitul Asyi bukan sekadar hitungan materi atau pengembalian
dana pemondokan hujjaj Aceh. Ini juga menyangkut kedewasaan dalam
mengelola warisan leluhur, melayani tamu-tamu Allah sebaik-baiknya
sehingga hujjaj Aceh dapat beribadah dengan nyaman dalam kondisi sehat
dan prima. Semoga hujjaj Aceh dapat segera menempati Baitul Asyi untuk
memudahkan melaksanakan ibadah sekaligus dapat mengurangi panjangnya
waiting list calon haji Aceh yang setia menunggu panggilan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar