Sabtu, 03 Agustus 2013

Sekolah Berbasis Riset

Oleh: Andi Yusuf D
Mahasiswa Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi, Unsyiah.

REKAM buram berbagai masalah yang mendera Indonesia harus dicari solusi yang bersifat jangka panjang. Problematika multidimensi yang menggelayuti bangsa secara perlahan membawa bangsa ini mengarah ke arus keterpurukan. Masalah seperti ekonomi, moral, politik, pendidikan, budaya, harkat dan martabat bangsa menjadi poin penting dalam pembangunan Indonesia. Membangun bangsa untuk mengatasi berbagai masalah tersebut tentu saja memerlukan sumber daya manusia sebagai agen subyek pembangunan Indonesia.

Solusi kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah bangsa yang terjadi selama ini di pemerintah jarang berdasarkan hasil kajian berupa penelitian dan pengembangan. Alhasil setiap kebijakan yang diambil bersifat reaktif dan solusi jangka pendek dan tidak memiliki daya untuk jangka panjang.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengambil kebijakan berdasarkan riset lapangan disebabkan oleh masih minimnya jumlah peneliti bangsa ini dan belum memiliki jiwa budaya riset pada setiap insan pendidikan seperti pelajar, pengajar bahkan pengambil kebijakan di pemerintah. SDM pengambil kebijakan sebelumnya tidak memperoleh secara baik pendidikan karakter dari lembaga pendidikan formal. Pendidikan karakter tersebut seperti berjiwa sosial, peka terhadap isu lingkungan sekitar dan mampu memecahkan masalahnya. Dengan pola kurikulum pendidikan yang pasif dan pedadogik membuat lembaga pendidikan formal mandul untuk memantik pendidikan karakter tersebut.

Di lain pihak, universitas yang diharapkan sebagai lembaga pendidikan yang paling terdepan dalam melahirkan periset-periset yang bermutu, kenyataannya masih belum maksimal. Di UI, menurut Terry Mart (Kompas, 24/10/2011) dari sekitar 3.000 dosen, hanya 200 yang diklasifikasikan sebagai dosen inti penelitian. Dari 200 dosen ini UI berharap menghasilkan 150 riset berpublikasi internasional pertahun. ITB hanya menghasilkan 500 riset berpublikasi internasional dari 1.200 dosen dan ITS baru sekitar 103 riset terpublikasi internasional per tahun dari 1.100 dosen.

Lemahnya produksi riset di dalam universitas disebabkan jumlah SDM periset rendah, mahasiswa masih terbawa suasana pendidikan formal ala sekolah yang pasif dan tidak peka terhadap lingkungan. Mahasiswa belum memiliki mental riset membuat universitas harus berupaya keras membudayakan riset untuk mahasiswa. Sistem pembekalan tugas akhir seperti skripsi, tesis atau disertasi tidak melahirkan jenis riset yang aplikatif dalam kehidupan masyarakat melainkan tugas-tugas tersebut dikerjakan sebatas untuk memenuhi persyaratan mengakhiri masa studi.

Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN indeks jumlah peneliti per 10.000 populasi pada tahun 2009 yakni Filipina (1,3), Indonesia (1,72) Thailand (3,4) Singapura (5,8) Malaysia (7,1). Melihat data di atas memungkinkan bahwa setiap permasalahan bangsa ini tidak diiringi dengan riset untuk mendukung pengambilan kebijakan. Setiap solusi yang diambil tidak sepenuhnya berdasarkan hasil yang di lapangan. Ini menimbulkan distorsi kebijakan yang menyebabkan masalah tidak terselesaikan secara efektif dan efisien.

Pada saat ini, hampir semua sekolah di Indonesia, pola pendidikannya menerapkan interaksi antara guru dan siswa di dalam ruangan kelas. Pola kurikulum pendidikan yang pasif dan pedadogik yakni 60%-70% berupa teori dan 30%-40% praktik merupakan metode pendekatan peningkatan IPTEK yang diterapkan selama ini. Pola kurikulum semacam ini kurang mengembangkan ide kreatif siswa dalam mengatasi permasalahan di lingkungannya. Senada dengan riset menyatakan bahwa rata-rata scientific literacy siswa Indonesia hanya 399, jauh di bawah rata-rata ideal dunia yang 500 artinya siswa Indonesia tak mampu menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memecahkan masalah kecil dalam kehidupan sehari-hari. (Kompas, 24/10/2011)

Merespons kenyataan di atas dibutuhkan perubahan paradigma kurikulum lembaga pendidikan seperi SMP dan SMA. Siswa dituntut berperan aktif dalam mengelola permasalahan di sekitarnya. Permasalahan yang dikelola bisa dari yang sederhana baru menuju yang rumit. Sekolah sebagai wadah yang membantu dalam pengembangan karakter siswa menuju siswa berbudaya riset. Bukan tidak jarang ada sebagian riset-riset karya sekolah semakin diakuinya memberikan manfaat bagi masyarakat. Karena itu pulalah maka berkembang dengan apa yang disebut dengan sekolah berbasis riset.

Sekolah berbasis riset merupakan sekolah dengan mengandalkan riset sebagai landasan peningkatan dan pencarian ilmu pengetahuan dan tekonologi. Sekolah metode ini meminimalkan pendekatan peningkatan IPTEK yang teoritis seperti yang selama ini terjadi di lembaga pendidikan formal di jenjang SD, SMP dan SMA. Sekolah berbasis riset dapat mengantarkan siswa menjadi insan yang lebih peka dalam lingkungan sekitar, meransang aktivitas motorik dalam peningkatan IPTEK, sehingga mahir dalam memecahkan persoalan yang ada. Ilmu yang demikian lebih bersifat community benefit. Bagian penting dari sekolah ini adalah mengembangkan teori IPTEK dan menelitinya menjadi action in practical. Riset atau penelitian sederhana menjadi bagian dari mata pelajaran dan tugas bagi setiap siswa.

Dalam kurikulum yang berlaku sekarang ini, siswa SMP-SMA menyelesaikan studinya selama 3 tahun atau 6 semester. Perlu diberikan waktu yang cukup yakni sekitar 4 bulan untuk menyelesaikan riset sederhananya. Riset di sekolah lebih sederhana dengan memilih jenis-jenis riset yang bisa dijangkau oleh siswa dan pembimbing. Kegiatan riset di sekolah dapat dilakukan oleh siswa secara individu dan kelompok. Tentu saja riset ini berbeda dengan riset-riset di universitas, waktu dan dana disesuaikan dengan kapasitas siswa. Riset-riset sederhana yang dihasilkan dapat dipublikasikan melalui pameran, lomba atau media. Riset ini dapat menjadi acuan untuk melakukan tindakan program pemabangunan atau paling tidak dapat membantu peneliti dewasa untuk mengembangkan riset lanjutnya. Program ini dapat melahirkan riset-riset bagi Indonesia yang selama ini relatif sedikit dibandingkan jumlah riset negara lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lainnya sehingga mampu mengangkat martabat bangsa.

Sekolah berbasis riset menghasilkan output SDM yang telah terbiasa dalam mencari dan menyelesaikan masalah sehingga kelak jika menjadi pengambil kebijakan di pemerintahan dapat memutuskan kebijakan-kebijakan yang tepat dan berjangka panjang yang berguna bagi pembangunan bangsa Indonesia.

Kementrian Pendidikan harus membantu mewujudkan visi sekolah berbasis riset tersebut seperti mengolah kurikulum pembelajaran, regulasi untuk kepastian hukum dan penyediaan sarana. Untuk pengalokasian anggaran pemerintah bisa belajar dari Swedia yang telah lama mengembangkan program ini. Butuh kerja keras dan kerja sama yang saling mendukung dari semua pihak sehingga program ini menguntungkan pembangunan Indonesia dalam jangka panjang.

Tidak ada komentar: