Kamis, 10 April 2008

Gearakan Mahasiswa menuju Kekuasaan

Adalah fakta yang tak dapat disangkal, bahwa perputaran sejarah kebangsaan suatu negeri akan selalu diwarnai oleh mobilitas para pemudanya. Kecepatan merespon suatu kondisi yang menjadi ciri khas kaum muda seringkali melahirkan paham-paham baru yang mungkin belum (pernah) ada pada generasi-generasi sebelumnya.
Indonesia juga tidak terlepas dari hal ini, sejarah pergantian orde pemerintahan dan rezim penguasa sering dimotori atau dipelopori oleh kalangan muda utamanya kalangan mahasiswa. Lihatlah dari mulai 1908, kemudian 1928, dilanjutkan dengan fase menjelang kemerdekaan 1945, diteruskan dengan gerakan tahun 1966 hingga yang terakhir tahun 1998 dan mungkin menyusul di tahun-tahun sekarang.
Saya ingin membatasi diri untuk menganalisa sedikit masa-masa antara tahun 1998 hingga sekarang. Di mana saya sedikit terlibat di dalamnya. Majalah Forum Keadilan mencatat bahwa gerakan 1998 lebih heroik ketimbang angkatan 1966 dikarenakan tidak adanya dukungan dari militer pada gerakan 1998 yang sukses menumbangkan orde baru, dan inilah yang menyebabkan gerakan 1998 dianggap lebih heroik, walau dukungan intra parlementer juga tidak terlalu kuat dan seterusnya gerakan mahasiswa kembali ke khitahnya sebagai oposisi abadi sebuah pemerintahan.
Karena status kemahasiswaan ini pula yang menyebabkan berulangnya kecelakaan sejarah, tercatat sejak 1998 hingga sekarang mahasiswa telah sukses mengaborsi tiga rezim penguasa. Seperti apa yang diistilahkan Akbar Zulfakkar bahwa mahasiswa itu seperti cowboy, apabila tidak terjadi gonjang-ganjing di kehidupan bangsa dan masyarakat maka ia akan termarjinalkan di kehidupan kampusnya. Ketika terjadi penyimpangan barulah keluar kandang dengan peralatan perangnya dan mulai membereskan segala penyimpangan. Manakala telah selesai, mereka berbondong kembali ke kampusnya, persis seperti cowboy jagoan atau dalam istilah yang populis seperti mendorong mobil mogok dan selalu mencium asap/limbah para elit politik yang menumpang di mobil tersebut.
Mencermati kondisi belakangan di mana ruang-ruang jalanan dan meja-meja diskusi kembali dipenuhi mahasiswa yang menyuarakan kekritisan terhadap rezim penguasa hari ini dan bukan tidak mungkin bermuara kepada pergantian rezim. Menariknya, seperti ingin kembali mengulang sejarah maka para elit politik mulai membuat skenario memegang kekuasaan sekiranya memang rezim penguasa hari ini tumbang, ada yang berbentuk koalisi nasional (berisikan barisan sakit hati lingkungan rezim), kaukus penyelamatan bangsa, sampai tingkat militer (walau berlindung di balik tameng UU yang kental aroma coup d etat). Membaca hal ini sepertinya kalangan muda (mahasiswa) tidak lagi mau mengulang kesalahan yang sama, maka lahirlah ide, junta pemuda ataupun potong kompas generasi di mana kalau pada masa-masa dahulu tahapan pergerakan pemuda dan mahasiswa hanya pada tahapan delegitimasi pemerintahan selanjutnya mengeksekusi (mengganti rezim) tanpa ikut serta mengelola pemerintahan selanjutnya. Maka hari ini tahapan ini meningkat hingga ke tingkatan mengambil alih kekuasaan, hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh ketua PRD Haris Rusli Matti, bahwa sudah saatnya mahasiswa berani mengambil risiko ini setelah beberapa periode hanya sampai tahap menumbangkan rezim.
Namun demikian harus juga diperhatikan bahwa pengalaman sejarah juga memberikan pelajaran di saat Cosmos Batubara (Ketua KAMI) sewaktu ditawari masuk pemerintahan telah diberi warning oleh Soe Hok Gie (adik Arief Budiman) bahwa prilaku kekuasaan yang cenderung korup akan melunturkan idelaisme aktivis gerakan ketika masuk ke dalamnya. Walau tidak bisa digeneralisir, setidaknya pelajaran di atas bisa dijadikan catatan.Sebelum melangkah ke sana, sesungguhnya ada agenda besar yang perlu segera dilakukan oleh gerakan-gerakan pemuda mahasiswa yaitu penyatuan kembali langkah seluruh elemen gerakan dengan tetap memunculkan eksistensi masing-masing namun mampu melebur dalam satu wujud tujuan bersama. Di sinilah sebenarnya titik yang menentukan apakah gerakan mahasiswa sekarang akan massif dan menuju gerakan massa (atau kalau mungkin people power), yang paling mendasar. Seperti apa yang pernah ditulis oleh Eep Saifullah Fatah, untuk menjadikan sebuah gerakan massif dan menjadi sebuah gerakan massa yang efektif adalah dengan adanya common enemy. Permasalahannya apakah seluruh elemen gerakan hari ini telah menganggap bahwa rezim penguasa hari ini adalah common enemy? Hingga selanjutnya bisa memadukan langkah untuk bersama menghadapinya dan selanjutnya mengulang romantisme sejarah ketika kemudian kearoganan rezim penguasa tunduk di teriakan jutaan rakyatnya.Dari apa yang saya amati pada saat diminta ikut berbicara di suatu dialog publik bersama-sama elemen mahasiswa lainnya, sinyal ke arah sana belum terbentuk karena adanya tarik-menarik kepentingan, juga landasan ideologis gerakan-gerakan mahasiswa yang ada. Benar, bahwa kebijakan yang tidak populis mulai dari kenaikan TDL, BBM, telepon, penjualan aset negara, hingga masalah supremasi hukum bahkan perlakuan istimewa terhadap konglomerat hitam, juga KKN yang semakin menggila, adalah sesuatu yang harus ditentang namun ternyata untuk menyatakan bahwa yang melahirkan kebijakan perlu juga untuk ditentang masih mengalami perdebatan yang serius.
Karenanya masih diperlukan waktu lebih lama jika ingin melilhat kembali bulan madu elemen-elemen gerakan mahasiswa dan masyarakat dalam satu barisan yang kokoh untuk kembali berdiri dan melangkah gagah menumbangkan rezim yang kian pongah ini karena masih kuatnya perbedaan yang mendasar dalam menyikapi apa yang terjadi sekarang dan apabila ini tidak segera terjembatani maka apa yang hari ini kuat diteriakkan di jalanan, kampus dan aneka tempat bangsa ini hanya akan jadi utopisme berkepanjangan untuk selanjutnya menambah jumlah cacat sejarah bangsa Indonesia dan aceh khususnya.semua itu hanya waktu yang akan menjawabnya! Wallahu alam bish-shawaab

Tidak ada komentar: