Kamis, 10 April 2008

Korupsi Sebagai Sistem Politik Penjarahan

Di Indonesia, korupsi bukan saja merupakan gejala kehidupan individu (kepribadian), masyarakat (kelompok dan golongan), negara (sistem politik dan pemerintahan), lebih dari itu, tindakan tercela tersebut sudah menjadi salah satu masalah utama dan mendesak Indonesia. Dikatakan seperti itu, karena korupsi merupakan realita dari penyalahgunaan kekuasaan di setiap sendi kehidupan masyarakat. Penelitian berskala internasional, regional, dan nasional telah membuktikan hal itu. Ditemukan bahwa Indonesia adalah negara terkorup nomer dua di Asia, dan nomer satu di ASEAN.
Tragisnya, walau hampir semua orang Indonesia menilai bahwa korupsi adalah jahat dan buruk, dan karena itu harus diberantas, akan tetapi penjahat dan instansi yang berwenang untuk memberantasnya, bekerja setengah hati dan asalan. Sehingga hasil tindakan itu jauh dari memuaskan. Malah berbagai tokoh dan lembaga kekuasaan, terkesan kuat memberikan proteksi kepada para koruptor. Lebih parah lagi dalam pergaulan sehari-hari, tidak ada pembedaan di antara koruptor dengan orang jujur. Koruptor dihormati karena kekayaan dan kekuasaannya ataupun karena sumbangannya kepada sesama warga masyarakat.
Gejala bahwa korupsi sudah memasuki kehidupan sehari-hari, orang awam sampai pejabat negara, membuktikan bahwa kejahatan itu sudah membudaya. Hal itu dimungkinkan karena perkembangannya yang jauh berakar ke dalam sejarah Indonesia dan telah menyentuh segala aspek kehidupan secara mendalam. Sentakan awal globalisasi yang dioperasikan oleh VOC, telah memperkenalkan korupsi secara sistematik. Globalisasi mutakhir yang menyebarkan investasi sewaktu Indonesia mengintensifkan pembangunan, menjadikan korupsi sebagai proses yang komplek, luas, serta mendalam. Hal itu dimungkinkan oleh para rezim dan birokrasi negara yang sudah berlatih korup sejak pemerintahan kolonial Belanda memanfaatkan para raja dan bupati sebagai perantara kekuasaannya dengan rakyat. Sewaktu kemerdekaan mengalihkan peran itu kepada kaum birokrat, pelajaran korupsi itu dimodifikasi. Dan sewaktu penguasa dan kaum birokrat melakukan perubahan ekonomi secara cepat dan kolosal, maka para koruptor mempercanggih teknologi dan strateginya. Lalu, di saat kekuasaan negara dikontrol oleh partai politik-serta didistribusikan kepada daerah, justeru korupsi semakin merajalela.
Kerusakan Menyeluruh dan Mendalam
Korupsi merusak tatanan kehidupan masyarakat dan negara, karena kegiatan itu bercirikan pengkhianatan atas kepercayaan, penipuan semua pihak, penafian kepentingan umum, berlangsung secara rahasia, menggunakan uang jasa atau barang, memanfaatkan kebijaksanaan publik, berlindung di balik hukum formal, dan berfungsi ganda serta kontradiktif.
Proses korupsi terdiri atas berbagai bentuk. Ia dapat muncul di dalam bentuk transactive (kesepakatan timbal balik), extortive (pemerasan atau paksaan dengan menggunakan kewenangan publik), nepotistic (berlangsung dengan melibatkan anggota keluarga), defensive (menghindarkan dijadikan korban yang lebih besar), otogenik (kegiatan perseorangan), dan supportive (suatu korupsi mendukung tindakan yang lainnya sehingga berlanjut).
Pemberantasan korupsi menjadi sukar karena kinerjanya seperti kanker, yaitu secara sistemik melekat kepada segala sistem sosial, mempengaruhi semua lapisan masyarakat, merasuki segala bentuk (unsur) organisasi negara, berlangsung dalam segala kondisi, melibatkan seluruh usia dan kelamin, serta berlangsung di waktu manapun.
Itulah sebabnya, maka korupsi mengubah masyarakat dan negara secara negatif dengan segala aspek. Secara sosial dan budaya, korupsi menggerogoti tatanan nilai, sebagai esensi bagi eksistensi, proses dan perkembangan masyarakat. Operasinya adalah mengaburkan dan bahkan mengacaukan nilai baik dengan buruk, salah dengan benar, dan seterusnya. Begitu kacaunya tata-nilai, sehingga tidak dirasakan lagi kekeliruan menghormati koruptor karena kekayaannya; tidak terbedakan lagi nilai halal dan haram atas sumbangan koruptor untuk membiayai fasilitas dan atau kegiatan agama; dan luntur atau sirnanya kebanggaan atas pekerjaan dan status kekayaan yang jujur atau halal. Nilai pergaulan dengan status terhormat, dikacaukan oleh korupsi, sebab masyarakat tidak lagi membedakan koruptor dengan orang jujur. Malah orang jujur diejek sebagai orang bodoh, hanya karena tidak mau ikut korupsi atau menggunakan kesempatan korupsi. Kontradiktif terhadap nilai jujur, malah si penolak korupsi di lembaga tertentu diasingkan dan bahkan dimusuhi dalam pekerjaan. Status sosial budaya koruptor menjadi lebih tinggi ketimbang orang jujur. Korupsi berfungsi sebagai perubahan status sosial secara vertikal.
Sudah barang tentu, korupsi mendistorsi nilai agama dengan jalan merusak kesucian nilai tersebut di dalam kehidupan beragama. Bayangkan, koruptor dan kekayaannya hadir tanpa koreksi dan hukuman dalam kehidupan beragama. Bayangkan, bila pemuka agama, penganut agama yang tampak saleh, melakukan atau bergaul secara normal dengan koruptor, atau lebih buruk lagi bila melakukan korupsi itu sendiri. Maka terciptalah masyarakat beragama yang munafik. Pada gilirannya, situasi hipokrit itu akan menghilangkan kepercayaan kepada agama itu sendiri.
Secara ekonomi, korupsi menimbulkan biaya tinggi, karena secara tersembunyi sektor produksi dipaksa menambah biaya oleh korupsi. Pada gilirannya, biaya itu dibebankan kepada konsumen, sehingga harga jual meningkat. Tapi, karena konsumen di Indonesia itu adalah lapisan masyarakat lemah, maka proses ekonomi yang diintervensi korupsi, menyebabkan kesenjangan ekonomi semakin melebar. Lebih jauh, korupsi sistemik, bukan saja meningkatkan biaya produksi melalui mark up, akan tetapi sekaligus menurunkan kualitas produksi karena penggelapan biaya atau kualitas bahan. Akibatnya, daya saing rendah, sehingga produk tidak laku. Maka, ekonomi menuju kemerosotan. Di bagian akhir kekuasaannya, Indonesia masa Orba berada dalam kondisi seperti ini. Korupsi merusak perekonomian negara, karena melenyapkan sepertiga sampai separoh anggaran negara dan menggerogoti biaya produksi. Maka, setidaknya korupsi merupakan salah satu penanggung jawab atas ambruknya perekonomian Indonesia sejak bagian akhir rejim Orba, dan memburuknya kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia sampai dewasa ini.
Secara politis, korupsi menopang perkembangan rezim dan sistem politik yang otoritarian, dan sebaliknya para diktator terjerumus ke dalam penyalahgunaan kekuasaan. Baik rejim demokrasi terpimpin maupun penguasa Orba, membuktikan hubungan saling mendukung di antara korupsi dengan sitem kekuasaan otoriter. Tetapi karena korupsi juga menggerogoti keseimbangan kekuasaan antara unsur rezim otoriter, akhirnya malah ikut menjatuhkan penguasa diktator tersebut. Namun begitu, bukan berarti korupsi beralih tuan kepada rezim yang berupaya menegakkan demokrasi. Pemerintah-pemerintah yang berkuasa sejak reformasi pun, tetap digerogoti korupsi. Sayangnya, rezim yang menyebut dirinya pro demokrasi pun ikut memanfaatkan korupsi sebagai sumberdaya kekuasaan, sehingga menghalanginya untuk menumbuhkan demokrasi. Malah, jebakan kultur otoriter tidak mampu dihindarinya karena terjebak oleh konflik di antara kepentingan untuk melanggengkan atau memperbesar kekuasaan dengan cita-cita demokrasi, yang diselesaikan berdasarkan pragmatisme. Hasilnya ialah terkendalinya reformasi untuk demokrasi, baik secara kultural maupun struktural.
Perhatikanlah betapa nilai dasar dan oprasional demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, keadilan, hak asasi dan kompetisi, keseimbangan, kesetaraan, hak sipil, yang terdistorsi oleh korupsi. Begitu pula dengan distorsi korupsi terhadap distribusi, keseimbangan kontrol kekuasaan, sehingga yang berkerja adalah sistem kekuasaan yang berkecenderungan sentralistik, dominatif, hegemonik, dan tidak terawasi serta non akuntabel. Dengan begitu, jelaslah bahwa korupsi cenderung memfasilitasi kekuasaan otoriter, dan sebaliknya menggerogoti demokrasi dengan jalan membatasi perkembangan demokrasi pada aspek formal dan verbal.
Untuk mengukuhkan peran korupsi dalam perusakan kehidupan masyarakat dan negara, para koruptor menggerogoti hukum. Dengan gaya mafia, koruptor mengatur perkara sesuai dengan kehendaknya. Mulai dari proses penyidikan dan penuntutan, sampai kepada penentuan hukuman dan pemasyarakatan terhukum, dikendalikan para koruptor, melalui suatu sitem yang tersembunyi, sehingga disebut sebagai mafia peradilan. Para koruptor tingkat tinggi, malah mengatur hukum supaya melindunginya, sejak pembuatan RUU sampai keputusan pansus serta komisi DPR. Itulah sebabnya maka Indonesia digolongkan oleh pebisnis internasianal sebagai negara terburuk secara hukum. Dan mafia pengadilan dianggap sebagai faktor yang menghalangi masuk dan mendorong larinya investor.
Berlawanan dengan kenyataan tentang berbagai dampak korupsi kepada perubahan negatif masyarakat dan negara, seperti dikemukakan terdahulu, ada pula anggapan bahwa korupsi juga membawa perubahan positif. Huntington dalam studinya tentang korupsi di Thailand, menemukan bahwa koruptor negeri itu menabung hasilnya dan menanamkannya di dalam perusahaan, sehingga ikut mendongkrak kemajuan (pertumbuhan) ekonomi. Hanya saja, sementara belum ada penelitian serius tentang hal itu di Indonesia, dikesankan bahwa tidak ada kecenderungan koruptor seperti itu di Indonesia. Bila demikian halnya, bisa jadi ketakutan akan terbongkar atau kebiasaan konsumerisme, serta memelihara keluarga dan pengikut, merupakan penyebabnya. Sekalipun koruptor merangkap menjadi investor, akan tetapi secara ideal, hal itu tetap merugikan masyarakat dan negara yang jujur. Lagi pula, bila dibandingkan kemungkinan dampak baik korupsi dengan dampak buruknya, maka tidak masuk akal mentoleransi korupsi.
Akar Masalah
Dapat dipastikan bahwa korupsi adalah salah satu fungsi dari kegagalan demokratisasi. Kegagalan demokratisasi yang ditunjukkan oleh sistem atau gejala otoriterian, pada hakekatnya mempertontonkan dominasi dan hegemoni elit atas rakyat banyak, bersamaan dengan matinya kompetisi, oposisi, dan akuntabilitas publik.
Di bawah sistem kekuasaan masyarakat dan negara seperti itu, penguasa dan birokrasinya menggunakan kekuasaan negara berdasarkan orientasi atau visi in put terhadapnya. Bukan berdasarkan visi out put yang dihasilkannya. Penyelenggaraan negara dimaksudkan memaknai kewenangan atau kekuasaan yang diberikan (diamanatkan) kepadanya, sebagai titik tolak melakukan tugas. Maka mereka bertindak sebagai penguasa yang melakukan pengaturan kepada masyarakat. Keberhasilannya ditentukan oleh kepatuhan masyarakat untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pelaksanaan kewenangan.
Untuk mencapai tujuan negara secara efektif, maka kekuasaan dijabarkan secara detail. Jabaran kewenangan pemerintah itu dilengkapi dengan persyaratan yang terinci pula, sebagai kewajiban rakyat untuk mendapat layanan.
Tapi pelayanan yang dimaknai sebagai kekuasaan itu, memerlukan kamuflase supaya beralasan untuk dikemukakan sebagai reaksi atas kehendak rakyat. Penyelesaian kontradiksi dilakukan dengan jalan mengkombinasikan pelayanan sebagai operasi kekuasaan dengan formalitas pelayanan sebagai hasil keinginan rakyat. Dengan begitu terciptalah sistem kekuasaan dan pelayanan berlapis dua. Dipermukaan atau secara formal, digembar-gemborkan pengabdian penyelenggara negara kepada masyarkat. Bersamaan dengan itu di bawah permukaan secara riil, berproses penggunaan kewenangan pemerintah yang mempersyaratkan imbalan. Dan imbalan itulah yang memotivasi penyelenggaraan negara untuk mempertahankan dan memperluas arena kekuasaannya dengan jalan memmanfaatkan pembangunan untuk megambil alih pengelolaan atau mengontrol sebanyak mungkin kegiatan masyrakat. Bila proses formal pemerintah itu terbuka terhadap publik dan kritik, maka proses riil pemerintah tersebut bersifat tertutup dan bahkan rahasia, sehingga imbalan pelayanan tidak bisa diungkap untuk menjamin keselamatan koruptor.
Demokratisasi Sebagai Solusi
Sudah barang tentu penyelesain malah korupsi yang begitu luas, mendalam, dan komplek, menuntut solusi komprehensif yang diprogram secara sistemik. Artinya, solusinya bermakna apabila korupsi dibersihkan dari tingkah laku individu sampai negara, dari sistem sosial sampai sistem politik, dari strutur vertikal (primordial) sampai tatanan horisontal (kelas) masyarakat.
Secara sosial, budaya malu dan solidaritas atasnya, akan menghidupkan kembali kejujuran sosial. Disamping itu, gerakan masyarakat anti korupsi melalui boikot dan asingkan koruptor dari pergaulan sehari-hari, akan menyulitkan hidup koruptor.
Solusi agama terhadap korupsi tentulah berbasis kepada penegakan norma agama secara konsisten. Untuk menopang nilai itu, fatwa Ulama NU yang menolak sholat untuk mayat koruptor adalah langkah yang amat maju. Tinggal menunggu prakteknya, yang tidak mudah karena belum disusul dengan fatwa tentang indikator koruptor. Tapi, selain dari itu, dapat pula diusulkan supaya difatwakan larangan untuk menerima zakat, fitrah, sedekah, dan hibah dari koruptor. Lalu, langkah itu ditopang pula dengan pemisahan jabatan agama (Kiayi, Da\'i, ustad, dsb) dengan jabatan politik dan pemerintahan serta bisnis.
Solusi ekonomi terhadap korupsi, tentulah dimulai dengan penerapan persaingan fair lewat privatisasi, dan pembatasan peran negara hanya untuk keadilan ekonomi. Kejujuran persaingan itu dapat diperkuat dengan transparansi bisnis dan akuntabilitas publik para penyelenggara negara.
Secara politik, pemberantasan korupsi bertolak dari demokratisasi negara dan masyarakat. Langkah ini meliputi budaya (prinsip atu nilai) demokrasi atau tatanan kekuasaan demokratik. Nilai itu adalah kebebasan, persamaan, dan hak asasi. Struktur dimaksudkan adalah kekuasaan negara dan pemerintah yang terbatasi dan terawasi. Mekanismenya ialah trias politika, checks and balances, kekuatan mayoritas (rezim) dan minoritas (oposisi) yang dilembagakan dalam pemerintah. Proses politik dan pemerintahan yang memadukan kultur dan struktur politik demokratik tersebut, dimuati dengan rasionalisasi aparat dan organisasi pemerintah yang disertai dengan pemberian upah sesuai dengan harga pasar, dan dengan penegakan disiplin. Dan proses formal politik disatukan dengan proses riilnya, sehingga tidak ada lagi sistem politik dan pemerintahan dua lapis.
Semua upaya di atas hendaklah ditopang oleh kepastian dan keadilan hukum. Mengingat parahnya kondisi hukum dewasa ini, maka secara khusus perlu digerakkan reformasi hukum dengan memperbaharui segala aspek sistem hukum.
di sarikan dari berbagai kumpulan tulisan!

Tidak ada komentar: