Oleh: Risman A Rachman
Pemerhati sosial-politik Aceh.
BERAPA nilai yang layak diberikan kepada sikap politik yang sedang dijalankan oleh Partai Aceh (PA) yang kini dinakhodai oleh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa dengan Mualem?
Sebagaimana diketahui, PA mengambil sikap tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik Pilkada Aceh saat ini, yang dinilainya bergerak tanpa menghormati etik dan spirit kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia. Menurut PA, inti persoalannya bukan soal boleh atau tidak boleh calon independen terlibat dalam ajang Pilkada Aceh. Tapi, boleh atau tidak boleh itu mestilah diproses dengan melibatkan lembaga perwakilan rakyat, DPRA.
BERAPA nilai yang layak diberikan kepada sikap politik yang sedang dijalankan oleh Partai Aceh (PA) yang kini dinakhodai oleh Muzakir Manaf atau yang akrab disapa dengan Mualem?
Sebagaimana diketahui, PA mengambil sikap tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik Pilkada Aceh saat ini, yang dinilainya bergerak tanpa menghormati etik dan spirit kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia. Menurut PA, inti persoalannya bukan soal boleh atau tidak boleh calon independen terlibat dalam ajang Pilkada Aceh. Tapi, boleh atau tidak boleh itu mestilah diproses dengan melibatkan lembaga perwakilan rakyat, DPRA.
Meski begitu, PA juga tidak mengambil
sikap menghadang jalannya politik Pilkada Aceh saat ini. Tidak ada
seruan politik kepada rakyat untuk memboikot jalannya Pilkada Aceh. PA
malah memilih tidak ikut serta sambil mengetuk hati orang-orang pintar,
bijak dan arif, yang oleh PA diyakini masih ada, baik di nasional maupun
di Aceh. PA mengajak mereka untuk menyelamatkan perdamaian ketimbang
terburu-buru dalam ajang Pilkada Aceh. Menurut PA, Jika hal utama bisa
diselamatkan (MoU dan UUPA) barulah pesta demokrasi Pilkada Aceh
digelar, bila perlu semeriah mungkin.
Sikap politik PA ini, di
satu sisi, memang terlihat sebagai sikap politik merugi. Rugi pertama,
takdir politik tiba-tiba saja tercabut pada PA. Betapa tidak, semua
partai politik memang sudah ditakdirkan untuk merebut kekuasaan.
Setidaknya, begitulah pengertian dasar dari partai politik. Dengan
begitu partai lebih yakin bisa mewujudkan cita-cita politiknya. Rugi
kedua, PA sudah memberi kartu kemenangan yang mudah bagi “lawan”
politiknya. Bisa jadi dapat menjatuhkan moral politik anggota partai,
terbelah dalam politik dukungan dan pada akhirnya bisa terjadi
persinggungan politik internal partai.
Namun begitu, sikap
politik PA bukan tanpa untung. Pertama, PA berhasil memperlihatkan
karakter politiknya yang tegas. Rakyat akan berkesimpulan bahwa PA bukan
partai politik biasa yang semata-mata berorientasi kekuasaan.
Menyelamatkan pardamaian adalah hal utama. MoU Helsinki dan UUPA harus
dijaga karena itulah harga diri yang menjadi jalan Aceh meraih masa
depan bermartabat. Inilah peran yang sedang ditegaskan oleh PA sebagai
partai politik mayoritas.
PA, sepertinya tidak mau mengulangi
kesalahan sejarah politik masa lalu yang kerap berakhir dengan
pengkhianatan terhadap perjanjian dan kesepakatan. PA, secara politik
seperti ingin berkata bahwa Aceh berdamai tidak dalam artian menyerah
melainkan mari mengelola Aceh dengan menghormati ureung Aceh (melalui
DPRA). Jika ada yang mau diubah maka lakukan perubahan itu dengan baik
menurut ukuran perjanjian. Jika ada yang salah secara hukum atau secara
politik maka perubahannya haruslah dibicarakan sebagaimana yang sudah
disepakati prosesnya.
Kedua, sikap PA ini bisa saja menjadi
penambah dorongan perbaikan UU Partai Politik dan juga UU Pemilukada
yang saat ini juga sedang menjadi diskursus politik di nasional. Jika
ini terjadi, itu artinya, Aceh akan kembali menjadi penguat laju
lokomotif bagi perbaikan demokrasi di Indonesia yang kini memang masih
terus mencari bentuknya menuju yang lebih baik lagi khususnya bagi
daerah-daerah di Indonesia.
Ketiga, sikap PA menjadi penting bagi
masa depan politik Aceh. Pertama, sikap PA mematikan langkah politik
instan para spekulator politik. Para spekulan politik bisa saja menang
namun dengan biaya politik tinggi. Jika ini terjadi maka dukungan awal
akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Logikanya sederhana, biaya
politik tinggi pasti berakhir dengan kepemimpinan koruptif. Kedua, sikap
PA juga mematikan langkah politik kaum ultranasionalis yang masih saja
tidak rela dengan capaian politik ureung Aceh saat ini. Berbagai
benturan politik dilakukan untuk memastikan adanya kontrol atas elite
poliik di Aceh.
Inilah klik politik PA di bawah kepemimpinan
Mualem, tentu menurut penulis. PA telah menutup pintu-pintu negosiasi
politik liar sebagaimana kerap terjadi pada sejarah politik Aceh masa
lalu. Banyak perjanjian politik berakhir dengan pengkianatan atau
minimal menjadi perjanjian tak bermakna, yang akhirnya melahirkan
benturan sosial dan pemberontakan.
PA, dengan pengalaman konflik
panjang, sepertinya sangat sadar akan beban berat politik Aceh. Bila
politik Aceh tidak terkelola maka siklus konflik berdarah antara Aceh
dan Indonesia bisa saja terjadi lagi. Pada saat yang sama PA, sepertinya
juga sangat menyadari potensi politik oportunis yang dimiliki Aceh,
yang bisa menggadaikan harga diri Aceh untuk sebuah kekuasaan, pengaruh,
dan uang melalui strategi politik kamuflase.
Sikap politik PA
ini tentu saja tidak mudah dan belum tentu tidak akan goyah. Berbagai
tantangan dan benturan politik masih mungkin akan dan harus dihadapi
oleh PA sekaligus elite politik Aceh lainnya. Pada akhirnya, ketahanan
politik PA memang akan diuji dipentas politik Aceh yang kini masih
sangat labil. Untuk itu, demam komunikasi politik PA memang perlu
diperbaiki untuk diperkuat agar apa yang menjadi sikap politik pimpinan
PA semakin lebih dipahami dan dimengerti oleh semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar