Sabtu, 03 Agustus 2013

Wajah Pariwisata Aceh

Oleh: Meili Nuzuliana
Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

SAYA tertarik mengupas tentang kepariwisataan Aceh terutama pariwisata di Banda Aceh. Kilas balik, tahun ini Pemko Banda Aceh menggelar even besar. Kita tahu, Visit Banda Aceh Years (VBAY) 2011 atau tahun kunjungan wisata ke Banda Aceh. Festival Kopi Aceh akhir November lalu merupakan even terakhir dari rangkaian program VBAY 2011 (Serambi, 28/11/11).

Industri pariwisata di Banda Aceh sangat menjanjikan. Mulai dari begitu banyaknya objek wisata seperti peninggalan masa kerajaan Islam dan peninggalan musibah gempa tsunami 2004 silam. Selama 2011, arus wisatawan terlihat meningkat (Serambi, 12/05/11). Hampir setiap hari silih berganti wisatawan datang berkunjung ke Banda Aceh. Wisatawan berasal dari berbagai kalangan, baik lokal, nusantara dan mancanegara. Kita, dengan mudah menjumpainya di beberapa objek wisata, khususnya situs wisata tsunami.
Saat ini saya tengah menyusun skripsi tentang pariwisata Aceh khususnya pariwisata Banda Aceh. Tentu saja, objek wisata di Banda Aceh menjadi tempat saya mengumpulkan data tulisan. Sebutlah beberapa seperti Masjid Raya Baiturrahman, Makam dan Mesjid Tgk. Dianjung, Makam Syiah Kuala yang nyaris terlupakan, Makam Sultan Iskandar Muda, Kerkhof Peutjout, Pinto Khop Putroe Phang, Kapal Lampulo, kapal PLTD Apung, Aceh Thanks The World, dan Kuburan Massal Ulee Lheue.

Lewat penelitian ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan terutama mengenai sejarah masa lalu Aceh yang menurut saya, heroik! Decak kagum tatkala mendengar cerita beberapa tetua yang paham benar tentang sejarah Aceh. Perjuangan, nasionalisme, dan kejayaan Islam masa lalu merupakan cerita tidak berkesudahan. Dan, bandingkanlah dengan kondisi Aceh masa kini. Maka akan begitu kentara perbedaan dapat kita rasa dan lihat. Ya, Aceh kini bukanlah Aceh masa lalu yang terkenal dengan kerajaan islamnya. Bukan juga Aceh yang terkenal dengan pemimpinnya nan adil bijaksana seperti Sultan Iskandar Muda.

Lantas, karena apakah Aceh tetap harum namanya hingga kini? Salah satu jawabnya, tsunami. Ada hikmah di balik semua musibah. Pun dengan gempa tsunami tujuh tahun lalu. Tsunami mampu menyedot perhatian dunia untuk Aceh. Warga dunia silih berganti datang ke Aceh. Khususnya di Banda Aceh, berbagai situs peninggalan tsunami ramai dikunjungi para turis. Mereka antusias melihat langsung Aceh pasca tsunami berikut peninggalannya yang “diluar dugaan.” Maka, dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan, kita berharap membawa pengaruh  baik bagi kehidupan masyarakat.

Mengapa? Karena, seperti simbiosis mutualisme, antara satu mahkluk hidup dengan mahkluk hidup lainnya saling bergantungan dan berkeuntungan. Begitulah perumpamaan antara pribumi dan wisatawan. Ketika wisatawan melakukan perjalanan ke suatu tempat, ia membutuhkan penginapan, makanan dan minuman, transportasi, dan cindera mata yang akan dibawa pulang. Nah, masyarakat setempat harus cerdas dan cermat menggunakan kesempatan ini. Mereka harus berupaya mengolah dan menyajikan keahlian yang mampu menjadi aset bagi kemakmuran ekonominya. Misalnya, membuat cindera mata yang bercirikan Aceh. Demikian, turis nyaman ketika berkunjung dan masyarakat ikut merasakan manfaat dari kunjungan mereka. Jadi, kita bisa membuktikan Peumulia Jamee Adat Geutanyoe.

Untuk itu, sangat diperlukan adanya koordinasi yang baik antara pemerintah setempat bersama warganya demi kemajuan sektor pariwisata. Dengan komunikasi dan koordinasi baik, masyarakat akan ikut andil memajukan pariwisata. Sebaliknya, jika hubungan baik tidak terjalin antara pemerintah dan masyarakat, maka akan banyak kendala terjadi. Imbasnya, pembangunan pariwisata yang diharap mampu meningkatkan devisa daerah dan taraf ekonomi rakyat pun sulit berhasil.

Hal lain, masyarakat acuh tak acuh pada program pemerintah mengembangkan sektor pariwisata. Paling ringan, mereka tak segan merusak keindahan objek wisata. Tentunya, objek wisata yang tidak terawat menjadi momok bagi pariwisata Aceh. Jadi, ketika pemerintah sudah mencanangkan tahun kunjungan wisata, maka semua elemen seharusnya berkoordinasi baik. kita harus siap bekerja lebih giat, demi citra baik untuk pariwisata Aceh. Pemugaran, perawatan, dan kebersihan lingkungan dimana situs  wisata berada harus benar-benar diperhatikan. Dengannya para wisatawan akan merasa nyaman dan ingin kembali. Atau sekurang-kurangnya merekomendasikan wisata di Aceh pada keluarga, teman-teman, atau koleganya.

Jangankan turis, kita sebagai pribumi juga merasa malu dan tak nyaman berlama-lama di objek wisata. Bagaimana tidak, jika mendapati sejumlah objek wisata di Banda Aceh yang terbanyak dikunjungi penuh dengan coretan kata-kata tidak pantas. Sebagai bukti, anda (jika ada kesempatan) silakan berkunjung ke objek wisata Pinto Khop Putroe Phang. Dijamin, anda terenyuh menyaksikan kondisi situs ini. Atau coba datang ke Makam Syiah Kuala. Lihatlah bagaimana kondisi pagar yang mengelilingi makam. Masih sangat banyak hal ‘kecil’ namun besar efeknya jika kita tidak segera berbenah.

Berdasarkan bincang-bincang ringan dengan para turis, mereka sangat antusias mengunjungi Aceh. Aceh seperti sebuah museum yang memiliki berjuta cerita. Mulai dari kehidupan spiritual, adat istiadat, situs peninggalan masa lampau, dan peninggalan tsunami merupakan cerita dari Aceh yang tidak pernah usai. Para turis menyukai suasana di Aceh. “Acehnese is very friendly and Aceh is a nice place, I can’t believe, very beautifull more than Thailand, Filiphines.. l like it so much!” Begitu ujar Tristian Rouyer, turis asal Prancis ketika saya tanya pendapatnya tentang pariwisata Aceh beberapa waktu lalu. Luar biasa!

Demikian, Aceh memang punya andil untuk menjadi daerah kunjungan wisata yang diminati warga dunia. Bisa jadi kelak, Aceh menjadi primadona pariwisata Indonesia. Tidak mustahil, bila semua kita, pemerintah dan masyarakat berpartisipasi memajukan pembangunan pariwisata provinsi tercinta, Aceh.

Tidak ada komentar: