Jumat, 02 Agustus 2013

Mencari “Raushanfekr” Aceh

oleh: Muhammad Mirza Ardi (pegiat Kelompok Studi Darussalam KSD)

Arnold Toynbee menulis dalam A Study of History bahwa sebuah kebudayaan akan tumbuh ketika ada “pikiran dan tenaga kreatif” dari suatu masyarakat yang berhasil menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat itu. Sebaliknya, kehancuran kebudayaan suatu masyarakat terjadi ketika tidak ada “pikiran dan tenaga kreatif” dalam masyarakat tersebut saat mereka berhadapan dengan tantangan zaman. Lumpuhnya “kelompok pikiran dan tenaga kreatif” di suatu masyarakat dengan sendirinya membuat masyarakat itu menjadi kehilangan arah, yang pada gilirannya menimbulkan disintegrasi sosial. 

Hukum Sejarah diatas sedang berlaku untuk Aceh. Saat ini kita sedang menghadapi berderet-deret masalah. Tantangan Aceh di awal abad-21 ini membentang luas dari masalah kemiskinan, korupsi, pendidikan, penegakan hukum, sampai perilaku masyarakat. Dan persoalan yang paling booming di media massa adalah masalah politik, yaitu debat tak selesai-selesainya pilkada. Politik, yang awal mulanya bertujuan untuk menciptakan kehidupan sosial yang nyaman dan baik, kini berubah menjadi monster yang bikin kehidupan sosial carut marut. Politik di Aceh telah menjelma menjadi “setan penghasut” yang bisa membuat sesama muslim saling mendengki, mendendam, berghibah, bertengkar, bahkan membunuh.

Kualitas sebuah politik tergantung pada kualitas politikusnya. Ungkapan “politik itu kotor” sebenarnya merupakan refleksi bawah sadar bahwa “politikus-politikus di negara saya adalah orang-orang kotor”. Padahal, dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles berpendapat kalau politik merupakan ilmu yang paling tinggi dan paling mulia. Kata “politik” sendiri berasal dari bahasa Yunani yang memiliki makna: serba keteraturan, keindahan, dan kesopanan bagi sebuah warga kota (polis). Keteraturan, keelokan, dan kesantunan hidup bersama ini diperjuangkan dan dijaga oleh para politisi.

Di perpolitikan Aceh, teori politik Aristotelian itu dijungkir balik. Bukannya menyuguhkan keteraturan, keindahan, dan (apalagi) kesopanan, yang muncul justru kesemrautan, kekotoran, dan budaya preman. Adu slogan dan memelintir qanun demi qanun adalah kegemaran politikus kita. Undang-undang pemerintahan digiring penafsirannya untuk kepentingan kelompok sendiri. Pertandingan argumen di parlemen (kalau pun ada) lebih banyak unsur demagosinya ketimbang pedagogis. Sama sekali tidak ada debat bermutu yang bisa mencerahkan pikiran rakyat sehingga publik bisa melihat persoalan dengan jernih, lalu memilih posisi dengan sadar. Akibatnya, sebuah keputusan tata-kelola negara ditentukan oleh banyaknya massa demonstran yang turun ke jalan, bukan dari sebuah debat publik di parlemen. 

Demikianlah potret buram dunia perpolitikan kita; dangkal, murah, dan kosong. Para politikus tanpa mutu seperti itu tak akan mampu menyelesaikan masalah, justru merekalah bagian dari masalah. Dan kita harus hati-hati, sebab kata Nabi “akan tiba suatu masa, yaitu berkuasanya para khutaba (tukang ngomong) dan sedikit para fuqaha (orang-orang ahli).” Di Aceh bukan tidak ada orang-orang faqih nan mumpuni, hanya saja mereka lebih memilih diam ketimbang bersuara lantang meneriaki penguasa dan mengarahkan masyarakat. Bila kita memakai pisau analisa Arnold Toynbee, di Aceh sedang tumbuh benih-benih awal runtuhnya suatu kebudayaan.

Rakyat pecah
Wajah Aceh ke depan sedang dipengaruhi oleh klimaks sengketa perebutan kekuasaan di Pilkada nanti. Sekarang, rakyat terbelah menjadi dua kubu, yang mendukung pilkada tepat waktu dan yang memilih pilkada ditunda.

Kita semua tahu bahwa tetek bengek ditunda atau tepat waktunya pilkada ini hanya masalah di kulit luar (permukaan). Dibalik dinding-dinding isu politik ini, ada agenda-agenda kepentingan kelompok yang ingin dicapai. Sayangnya, rakyat hanya disuguhi pernyataan antara satu juru bicara yang kemudian dibantah juru bicara kubu yang lain. Afiliasi rakyat juga digiring untuk mendukung satu kelompok lalu melihat kelompok lain sebagai lawan. Polanya selalu sama, yaitu saya hanya menang jika anda kalah (win-lose solution).

Sampai sekarang, belum ada suara alternatif dari sipil, belum ada suara dari “pikiran dan tenaga kreatif” orang Aceh yang mampu menjawab tantangan politik ini. Dalam bahasa Ali Syariati, Aceh belum punya raushanfekr (pemikir yang tercerahkan).

Butuh “raushanfekr”
Hukum sejarah ala Toynbee berkata jelas: Jika tantangan-tantangan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di Aceh sekarang tidak mampu dijawab oleh masyarakatnya, maka Aceh akan menjadi provinsi yang gagal. Aceh hanya akan bangkit jika di provinsi ini muncul para raushanfekr atau pemikir yang tercerahkan. Sepanjang sejarah manusia, mereka adalah kelompok minoritas “kreatif” yang biasanya memimpin kelompok mayoritas yang “tidak kreatif” atau “tidak tercerahkan”.

Dari sekarang kita dapat melihat; perpolitikan Aceh terombang-ambing, rakyat yang kebingungan (baca: massa) ditarik masuk ke dalam pertarungan politik kelas bantam. Dan kita patut prihatin karena di tengah musim pancaroba ini ketua MPU, ketua MUI, ketua Adat, ketua Mahkamah Syariat, rektor-rektor universitas, pakar hukum, pakar tata negara, dan para guru besar seperti diam seribu bahasa. Ke mana suara mereka?

Ketika menyusun konsep raushanfekr, Ali Syariati menyindir peran intelektual yang memble, yaitu  mereka yang bertahun-tahun menuntut ilmu di Mesir, Amerika, Arab Saudi, Australia, Eropa, atau di Unsyiah sampai berderet titel gelar akademiknya, namun setelah itu mereka berdiam di kursi nyaman jabatan akademis, lembaga pemerintahan, dan status pegawai negeri. Kata Ali Syariati, seorang pemikir tercerahkan tidak harus lahir dari bangku kuliah dan menara gading akademis, bahkan seorang ummi (buta huruf) pun bila ia “hadir” di tengah masyarakat sebagai nabi-nabi sosial, maka dia lah intelektual sejati.

Pemikir tercerahkan adalah individu yang dipenuhi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Mereka terjun langsung ke jantung masyarakat, memandu masyarakat untuk mencapai tujuan, kebebasan, dan kesempurnaan manusiawi. Pemikir tercerahkan adalah individu yang membantu masyarakat untuk keluar dari pembodohan para elite politik, pemerasan dari para tengkulak rakus, dan penindasan para penguasa yang korup. Mereka bukanlah orang yang merasa intelek hanya karena baru dapat gelar doktor dari luar negeri. Mereka bukan pula orang yang sibuk berpacaran dengan abstraksi-abstraksi ilmiah, tenggelam dalam wirid-wirid sufi, atau menulis puisi-puisi gelap yang sedikit orang memahaminya. Pemikir tercerahkan bersikap sosial, berada di tengah rakyat, dan memainkan peranan sebagai nabi sosial.

Kita butuh orang seperti Al-Ghazali, yaitu saat ia meninggalkan status “guru besar sufi”, kemudian menjadi “pemikir tercerahkan” dengan mengirim surat-surat protes kepada penguasa negerinya. Atau seperti Ibn Taimiyah yang bukan lagi hanya “seorang pakar fiqh” ketika memimpin perlawanan terhadap tentara mongol. Atau seperti Noam Chomsky yang meninggalkan status “ahli linguistic dari MIT” saat ia menulis puluhan buku politik kritis, bersuara lantang di puluhan ceramah dan debat untuk menentang kediktatoran negerinya sendiri. Mereka mengubah umat yang pasif, meniupkan ruh kebangkitan, menanamkan kepercayaan diri, dan menggerakkan umat melawan politik tanpa prinsip. Di Aceh, adakah intelektual yang seperti itu?

Tidak ada komentar: