Sabtu, 03 Agustus 2013

Zakat Penghasilan

Oleh: Al Yasa‘ Abubakar
Direktur Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

SEPERTI telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya, para ulama cenderung memperluas harta kena zakat dari apa yang diamalkan pada masa Rasulullah SAW. Sehingga harta kena zakat semakin lama semakin banyak jenis dan macamnya. Tidak ada hadis sahih yang secara sharih menjelaskan adanya praktik pemungutan zakat atas harta perdagangan pada masa Rasulullah.

Imam Syafi‘i di dalam Kitab Al-Um mengutip riwayat bahwa ‘Umar memungut zakat atas barang yang dibawa ke pasar untuk dijual sebagai dalil pertama tentang adanya kewajiban zakat atas barang dagangan. Riwayat ini dapat memberi petunjuk bahwa Khalifah Umarlah orang pertama yang memungut zakat atas barang dagangan. Imam Syafi‘i dalam qawl qadim menyatakan ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kewajiban zakat atas barang dagangan. Beliau sendiri tidak secara tegas menyatakan adanya kewajiban zakat barang perdagangan. Bahkan ada yang menyimpulkan bahwa Imam Syafi‘i cenderung tidak mewajibkan zakat atas barang perdagangan di dalam qawl qadim-nya. Sedang dalam qawl jadid, beliau menyatakan secara tegas bahwa barang dagangan wajib dizakati. Imam Malik menyatakan barang dagangan baru dikenakan zakat kalau sudah dijual, sudah bertukar menjadi uang.
Begitu juga mengenai hasil pertanian. Yang disuruh Rasulullah untuk dizakati (beliau perintahkan kepada para petugas untuk mengambilnya) hanyalah empat jenis saja yaitu kurma, gandum, kismis (anggur) dan jelai. Menurut beberapa kitab, zakat atas hasil pertanian selain dari empat macam tanaman di atas baru diwajibkan para ulama sesudah Rasulullah wafat. Tetapi belum jelas apakah pewajiban dan pemungutan tersebut telah dimulai pada masa Sahabat, atau baru dimulai pada masa imam mazhab.

Adapun mengenai penghasilan dari sektor jasa, kelihatannya sama dengan zakat perdagangan tadi, baru mulai dipungut pada masa Sahabat. Di dalam Kitab Al-Um (jilid 2, halaman 24) Imam Syafi‘i menyebutkan dua riwayat. Pertama, Khalifah Usman ibn ‘Affan, ketika membayar uang gaji atau honor (‘atha’, pemberian), bertanya kepada si penerima, apakah dia mempunyai harta lain yang kena zakat. Kalau dijawab ada, maka khalifah akan memotong zakat atas uang tunjangan yang dibayarkan itu. Tetapi kalau dijawab tidak ada, maka dia tidak memotong zakatnya. Yang kedua, orang pertama yang mengambil zakat dari uang gaji atau honor, adalah Mu‘awiyyah, khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah. Berbeda dengan Usman, beliau memotong zakat dari honor yang diserahkan tanpa bertanya apakah si penerima honor mempunyai harta lain yang terkena zakat atau tidak. Naskah yang penulis gunakan adalah kitab Al-Um yang ditahqiq oleh Mahmud Mathraji, terbitan Dar-ul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet.1, 1993.

Perlu dijelaskan, pada masa Rasulullah dan masa Khalifah Abubakar, pejabat dan petugas, atau tentera belum diberi gaji secara tetap oleh pemerintah. Mereka mendapat upah secara insidentil ketika ada tugas yang mereka kerjakan seperti menjadi amil zakat. Tentera yang ikut berperang melawan orang kafir, memperoleh bagian dari harta rampasan yang didapat dalam perang tersebut dan itulah bayaran mereka. Sesudah Umar menjadi khalifah keadaan ini beliau ubah. Semua harta rampasan perang, termasuk tanah pertanian milik negara yang dikalahkan, tidak lagi dibagikan kepada para tentera, tetapi menjadi milik negara dan sebagai gantinya tentera memperoleh gaji secara teratur. Lebih dari itu karena pemerintah kaum muslimin sudah relatif kaya, maka para pejabat dan pegawai pemerintah, serta para istri Rasulullah dan para Sahabat, semuanya diberi tunjangan secara rutin. Kelihatannya gaji dan tunjangan ini tidak dizakati oleh Khalifah Umar dan baru dimulai pada masa Khalifah Usman dan setelah itu dilanjutkan oleh Khalifah Mu‘awiyah. Imam Syafi‘i, seperti telah disebutkan di atas, awalnya tidak secara tegas menyatakan adanya kewajiban zakat harta perdagangan. Beliau baru mempertegas pendapatnya setelah pindah ke Mesir. Namun masih ada perbedaan antara Imam Syafi‘i dengan Khalifah Umar, karena Khalifah Umar memungut zakat atas barang dagangan ketika barang itu dibawa ke pasar, bukan setelah pedagang berdagang selama setahun.

Sedang Imam Syafi‘i menyatakan harta perdagangan baru wajib dizakati kalau sudah mencapai nisab dan sudah diperdagangkan (disimpan) selama setahun. Menurut Imam Syafi‘i di dalam Al-Um semua harta akan wajib dizakati kalau sudah mencapai nisab dan sudah disimpan selama setahun, kecuali zakat atas hasil pertanian dan rikaz. Zakat atas hasil pertanian, menurut Imam Syafi‘i wajib dibayar pada setiap panen, sedang zakat atas rikaz dibayar pada saat ditemukan.

Adapun ijtihad Khalifah Usman dan Mu‘awiyah tentang kewajiban zakat atas gaji tetap tidak diikuti oleh Imam Syafi‘i. Imam Syafi‘i menyatakan bahwa gaji tidak wajib dizakati pada saat diterima, karena uang tersebut belum disimpan selama satu tahun.

Sekiranya diperhatikan dalil yang digunakan para ulama untuk mewajibkan zakat atas gaji yang diterima para pegawai, menurut penulis dapat dikelompokkan paling kurang menjadi tiga. Pertama dalil dari Alquran yang digunakan para ulama untuk menyatakan adanya kewajiban zakat atas semua penghasilan dan tabungan. Dalil-dalil inilah yang digunakan ulama untuk menetapkan adanya kewajiban zakat atas penghasilan dari sektor perdagangan dan sektor jasa. Kedua, pendapat dan praktik para Sahabat yang dipelopori oleh Usman dan Mu‘awiyah yang di atas sudah disebutkan. Ketiga maqashid al-syari‘ah, dalam hal ini pertimbangan keadilan. Berdasarkan ayat-ayat Alquran dan bahkan hadis-hadis Nabi para ulama menyimpulkan sebuah prinsip, bahwa zakat diwajibkan atas orang kaya dan diserahkan kepada orang miskin atau kegiatan-kegiatan yang bersifat membantu orang miskin serta kegiatan tertentu lainnya yang bersifat keagamaan (misalnya amil).

Kelihatannya berdasar prinsip inilah para ulama masa lalu, mulai dari para Sahabat sampai kepada imam mazhab bahkan sampai ke masa sekarang, berani memperluas dan menambah jenis dan macam harta kena zakat sehingga menjadi lebih banyak dari jenis dan macam yang dipraktikkan Rasulullah. Prinsip ini pulalah yang digunakan oleh sebagian ulama untuk menyatakan adanya kewajiban zakat atas gaji atau penghasilan dari sektor jasa. Orang-orang yang menerima penghasilan dari sektor jasa, di dalam kenyataannya banyak yang lebih kaya bahkan sebagiannya amat sangat kaya sekiranya dibandingkan dengan petani yang mempunyai penghasilan hanya lima wasaq beras (sekitar dua ribu liter padi), atau peternak yang hanya mempunyai empat puluh ekor kambing. Jadi kalau zakat diwajibkan atas dasar adanya kekayaan, maka sangatlah layak sekiranya para petani yang dianggap kaya dikenai zakat, maka pegawai (penjual jasa) yang lebih kaya dari si petani juga dikenai zakat. Para ulama tersebut merasa tidak adil apabila petani yang penghasilannya lebih kecil dari pegawai dikenai zakat, sedang pegawai yang penghasilannya lebih besar dari si petani tidak dikenai zakat.

Kalau ada yang mau menolak kewajiban zakat gaji dengan alasan tidak pernah dipraktikkan pada masa lalu, maka sebaiknya membaca kitab-kitab sejarah terlebih dahulu, paling kurang kitab Al-Um karangan Imam Syafi‘i, yang telah menceritakan adanya pengutipan zakat atas gaji pada masa Sahabat seperti telah dikutip di atas. Sekiranya ada yang menolak karena tidak ada dalil, sampai batas tertentu tidaklah salah, karena kewajiban zakat atas penghasilan dari sektor jasa ditetapkan berdasar ijtihad oleh para ulama.

Tetapi para pihak yang menolak ini hendaknya merenung, menggunakan akal sehat, pikiran jernih dan hati nurani, kenapa padi dan barang perdagangan yang tidak dizakati pada masa Rasulullah, yang kewajibannya juga berdasar ijithad para Sahabat, pada masa sekarang ini menjadi wajib dizakati. Sedang gaji yang tidak dizakati pada masa Rasulullah tetapi dizakati di masa Sahabat, sekarang ini menjadi tidak wajib dizakati. Apakah logika yang berusaha membedakan penghasilan dari sektor perdagangan dengan penghasilan dari sektor jasa dalam masalah zakat ini masih layak dipertahankan. Lebih dari itu kewajiban membayar zakat di Aceh sekarang, termasuk zakat penghasilan dari sektor jasa, sudah ditetapkan berdasar Qanun Aceh. Jadi kewajiban tersebut tidak hanya bersifat kewajiban keagamaan, tetapi juga sudah bersifat ke-umara-an.

Tidak ada komentar: